Sumber Gambar : https://www.idpengertian.com/wp-content/uploads/2019/05/tata-cara-sholat-tarawih.png
1,Fatwa Syaikh Jalaluddin al-Suyuthi
(al-Hawi lil
Fatawa II/13. Tema: al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih)
Segala puji bagi Allah. Semoga kedamaian selalu dilimpahkan kepada para
hamba pilihan-Nya. Wa ba’du:
Saya
telah ditanya berkali-kali tentang apakah Nabi Muhammad Saw melakukan salat
tarawih sebanyak 20 rakaat seperti yang ada saat ini? Saya akan menjawab dengan
penuh kemantapan dalam masalah ini.
Menurut
pendapat saya (al-Suyuthi), yang pertama, hadis-hadis yang bernilai sahih,
hasan atau dlaif kesemuanya menganjurkan untuk melakukan ibadah di malam bulan
Ramadlan tanpa menyebut bilangan rakaatnya. Tidak ada penjelasan dari hadis
sahih yang menyatakan Rasulullah Saw salat sebanyak 20 rakaat, beliau hanya
salat beberapa malam saja tanpa menyebut bilangan rakaatnya, kemudian pada
malam yang keempat beliau tidak datang ke masjid karena khawatir salat tersebut
dianggap wajib, sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya.
Sebagian
ulama ada yang menggunakan sebuah hadis sebagai penguat bilangan tarawih 20
rakaat, sementara hadis tersebut tidak layak untuk dijadikan dalil. Hadis
tersebut akan saya tampilkan dan saya jelaskan kedlaifannya. Hadis tersebut
adalah:
رَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي
مُصَنَّفِهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ أَنْبَأَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ
عُثْمَانَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ
رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.
“Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw salat di
bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat, dan (ditambah) salat witir.”
(Hadis tersebut diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya (No. Hadis 7692), juga oleh
Abd bin Hamid dalam musnadnya (No. Hadis 653), juga oleh al-Baghawi dalam kitab
al-Mu’jamnya, juga oleh al-Thabrani[1][1] (al-Mu’jam
al-Kabir No. Hadis 11934 dan al-Ausath No. Hadis 5440), kesemuanya dari jalur
Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman).
Saya
(al-Suyuthi) berpendapat bahwa hadis ini sangat lemah dan tidak dapat dijadikan
dalil. Al-Dzahabi berkata dalam kitab Mizan al-I’tidal: Ibrahim bin
Utsman dinilai dusta oleh Syu’bah, Yahya bin Ma’in menilainya: Dia bukan orang
yang bisa dipercaya, Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai perawi yang dlaif,
Imam Bukhari berkata: Ulama mendiamkannya, al-Nasa’i berkata: Dia hadisnya
ditinggalkan. Al-Dzahabi dan al-Muzani menilai sebuah hadis dari Ibrahim bin
Utsman yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah Saw melakukan salat 20 rakaat di luar
jamaah’ sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, jika seorang perawi sudah
disepakati penilaiannya sebagai perawi dlaif oleh para ulama, maka perawi tadi
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Yang
kedua, telah termaktub dalam sahih al-Bukhari bahwa Aisyah ditanya mengenai
ibadah malam yang dilakukan oleh Rasulullah selama Ramadlan, Aisyah menjawab:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ
وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
‘Nabi
Saw tidak pernah menambah dari bilangan 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau
bulan lainnya’
(HR al-Bukhari No. Hadis 2013 dan 3569).[2][2]
Yang
ketiga, telah termaktub pula dalam kitab sahih al-Bukhari dari Umar bin
Khattab, beliau berkata: ‘Salat Tarawih ini adalah sebaik-baiknya bid’ah,
dan salat yang dilakukan setelah tidur hukumnya lebih utama.’ (HR
al-Bukhari No. Hadis 2010).
Sayidina
Umar menyebut salat Tarawih ini dengan ‘bid’ah’ dikarenakan tata cara salat
Tarawih secara berjamaah di masjid dengan satu imam tidak dilakukan di masa
Rasulullah Saw. Para ulama termasuk Imam Syafi’i dan ‘Izzuddin bin Abd al-Salam
membagi bid’ah menjadi 5 macam, yaitu bid’ah wajib, haram, mubah, sunah dan
makruh, sedangkan salat tarawih tersebut masuk kategori bi’dah yang sunah.
Dalam
kitab Manaqib al-Syafi’i (biografi Imam Syafi’i), al-Baihaqi berkata:
Sesuatu yang baru ada dua macam. Pertama, sesuatu tersebut bertentangan dengan
al-Quran, al-Hadis, atsar sahabat, atau ijma’ (konsensus) ulama, inilah yang
disebut bid’ah yang menyesatkan. Kedua,
sesuatu yang baru namun memiliki nilai kebaikan, ini adalah bid’ah yang tidak
tercela. Oleh sebab itu, Sayidina Umar menyebut salat Tarawih sebagai bid’ah.
Al-Baihaqi
meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya (No. Hadis 4801) dengan sanad yang
sahih bahwa:
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ
كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ
رَكْعَةً
‘Diriwayatkan dari Saib bin Yazid (seorang
sahabat Rasul), ia berkata bahwa umat Islam di masa Umar bim Khattab
melaksanakan ibadah malam di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat’.[3][3]
Yang
keempat, para ulama berbeda pendapat mengenai bilangan rakaat salat Tarawih.
Seandainya bilangan rakaat Tarawih telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka
tidak akan terjadi perbedaan pendapat sebagaimana Nabi Saw. menjelaskan
bilangan rakaat salat witir, salat sunah Rawatib dan sebagainya. Menurut
riwayat Aswad bin Yazid jumlah rakaat Tarawih adalah 40 rakaat. Sementara
menurut Imam Malik jumlah Tarawih adalah 36 rakaat selain salat witir. Hal ini
didasarkan pada riwayat Nafi’:
أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ
يَقُوْمُوْنَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً يُوْتِرُوْنَ مِنْهَا
بِثَلَاثٍ.
‘Saya
menjumpai umat Islam melakukan ibadah malam di bulan Ramadlan sebanyak 39
rakaat, dan yang 3 rakaat adalah salat witir.’
Yang
kelima, disunahkan bagi penduduk Madinah untuk melakukan salat Tarawih sebanyak
36 rakaat, untuk menyamai pahala penduduk Makkah. Bagi umat Islam yang
melakukan Tarawih di Makkah, mereka bisa melakukan Tawaf setiap selesai 2 kali
salam sekaligus dapat melakukan salat sunah Tawaf 2 rakaat. Kemudian umat Islam
yang berada di Madinah ingin mendapatkan pahala yang sama dengan yang ada di
Makkah, maka mereka mengganti posisi setiap Tawaf dengan 4 rakaat salat
(sehingga mereka menambah 16 rakaat, yang secara keseluruhan menjadi 36
rakaat). Dan seandainya bilangan salat Tarawih ditentukan dalam sebuah hadis,
maka sudah pasti penduduk Madinah tidak akan menambah rakaat Tarawih menjadi 36
rakaat. Padahal masyarakat di Madinah saat itu adalah orang-orang menjauhkan
diri dari hal-hal yang terlarang (wira’i).[4][4]
Siapapun
yang telah menelaah kitab-kitab madzhab, khususnya kitab Syarh al-Muhadzdzab
[5][5](al-Majmu’ karya Imam
al-Nawawi), menganalisa alasan-alasan yang terdapat dalam salat Tarawih,
seperti tentang bacaannya, waktu pelaksanaannya, dan kesunahan melakukan
Tarawih secara berjamaah, maka ia akan memperoleh ilmu yang mantap bahwa
seandainya ada sebuah hadis marfu’ tentang Tarawih tentu akan dipakai sebagai
dalil Tarawih. Inilah jawaban saya mengenai salat Tarawih, Wallahu A’lam.
2. Fatwa Ulama al-Azhar Kairo, Mesir . Mufti: Syaikh Hasan Ma’mun
(Juz I hal. 48. Fatwa dikeluarkan
pada 8 September 1955)
Bilangan
rakaat salat Tarawih, dan manakah yang lebih utama antara membaca al-Quran atau
membaca pujian bagi para khalifah di setiap sela-sela duduk istirahat 4 kali
rakaat?
Sebagaimana
termaktub dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, Aisyah berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ
وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
‘Nabi
Saw tidak pernah menambah dari bilangan 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau
bulan lainnya’
[6][6]
Hadis
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa “Rasulullah Saw salat di bulan
Ramadlan sebanyak 20 rakaat selain salat witir” adalah hadis dlaif. Adapun
penetapan 20 rakaat salat Tarawih adalah berdasarkan konsensus para sahabat di
masa Sayidina Umar. Sementara alasan yang dikemukakan bahwa tidak ada dalil
sahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan salat Tarawih 20 rakaat,
tidak bisa dijadikan sebagai penghalang untuk meniadakan hukum sunah melakukan
Tarawih 20 rakaat. Sebab Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mengikuti Khulafa’
al-Rasyidin, sebagaimana dalam sabdanya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِىْ عَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
‘Berpeganglah
dengan sunahku dan sunah Khulafa al-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk
setelahku, berpeganglah dengan sangat erat’
(HR Turmudzi No. 2891, Abu Daud No.
4609, Ibnu Majah No. 44, dan Ahmad No. 17608 dari ‘Irbadl bin Sariyah)
Rasulullah
Saw juga bersabda:
سَتُحْدَثُ بَعْدِىْ أَشْيَاءُ
فَأَحَبُّهَا إِلَىَّ أَنْ تَلْزَمُوْا مَا أَحْدَثَ عُمَرُ
‘Akan
ada banyak hal-hal yang baru sesudahku, dan yang paling saya senangi untuk
kalian ikuti adalah hal-hal baru yang dilakukan oleh Umar’
(HR. Abu Nuaim dalam kitab Ma’rifah
al-Shahabah No. 4968 dan Ibnu ‘Asakir, 44/280 dari ‘Arzab al-Kindy)
Diriwayatkan
dari Abu Yusuf (santri Abu Hanifah): “Saya bertanya kepada Abu Hanifah tentang
salat Tarawih dan yang dilakukan oleh Umar. Abu Hanifah menjawab: Tarawih
hukumnya adalah sunah muakkad. Umar tidaklah melakukannya berdasarkan
inisiatifnya sendiri, dia tidak melakukan perbuatan bid’ah dalam salat Tarawih
ini. Umar tidak akan memberi perintah (kepada Ubay bin Ka’b untuk menjadi imam
salat Tarawih 20 rakaat) kecuali berdasarkan sebuah dalil yang dia ketahui dari
Rasulullah Saw.”
Selama
kita diperintah untuk mengikuti hal-hal baru yang diperbuat oleh para khalifah,
khususnya Sayidina Umar, maka salat Tarawih 20 rakaat hukumnya adalah sunah.
Dalam hal ini seolah yang memberi perintah adalah Rasulullah, bahkan menurut
ulama Ushul Fiqih yang disebut dengan ‘sunah’ adalah setiap hal yang dilakukan
oleh Rasulullah Saw, atau salah seorang dari sahabat Rasulullah. Sebab Ijma
(konsensus) ulama merupakan bagian dari dalil agama yang harus dipegang.
Kesimpulannya,
Tarawih 20 rakaat adalah sunah Rasulullah Saw.[7][7] Siapa yang
mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunah perbuatan Umar, maka pendapat
ini ditolak dengan argument di atas. Sebagaimana yang termaktub dalam Fatawa
al-Hindiyah, bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunah Rasulullah Saw. Ada juga yang
mengatakan sebagai sunah Umar. Dan yang kuat adalah pendapat yang pertama. Ini
adalah kesimpulan yang dikutip dari mayoritas ulama Hanafiyah.
Hal
yang wajib dipahami bahwa salat Tarawih tidak wajib, agama adalah mudah dan
Allah tidak memberikan beban kepada makhluknya kecuali memberikan keleluasaan.
‘Kemudahan’ dari syariat menuntut kepada umat Islam untuk tidak terjerumus ke
dalam perselisihan yang mengarah pada sikap merasa ‘paling benar’ dan perilaku
keras yang meningkat ke arah keyakinan dan iman. Dengan demikian siapapun yang
mampu melakukan salat Tarawih 20 rakaat maka dia telah melakukan hal yang
sempurna dan telah melakukan ibadah dengan mendapatkan pahala yang sempurna.
Barangsiapa yang tidak mampu melakukan 20 rakaat maka dia boleh melakukan salat
Tarawih sesuai kesanggupannya, ia juga akan mendapatkan pahala tetapi tidak
secara sempurna, namun orang tersebut tidak menginggalkan hal-hal yang wajib
dalam agama.
Dan
disunahkan untuk duduk sejenak setiap selesai 4 rakaat, begitu pula antara
Tarawih dan Witir. Inilah tatacara yang telah dilakukan oleh ulama salaf
sebagaimana salat yang dilaksanakan oleh Ubay bin Ka’b. diriwayatkan dari Abu
Hanifah bahwa kata ‘Tarawih’ diambil dari kata istirahat yang dilakukan di
sela-sela antara 4 rakaat Tarawih. Hal yang disunahkan adalah berdiam diri
diantara sela-sela rakaat salat, dan tidak ada riwayat dari ulama salaf tentang
apa saja yang dibaca di waktu senggang tersebut. Umat Islam di masing-masing
negaranya memilih bacaan yang sesuai dengan ‘tradisi’ mereka, ada yang membaca
al-Quran, tasbih, salat 4 rakaat sendiri-sendiri, tahlil, takbir, ada juga yang
sekedar menunggu tanpa membaca sesuatu.
(Majmu’
al-Fatawa V/163, Fashl Salat al-Khauf)
وَأَمَّا
قُنُوتُ الْوِتْرِ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ : قِيلَ : لَا
يُسْتَحَبُّ بِحَالِ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَتَ فِي الْوِتْرِ . وَقِيلَ : بَلْ يُسْتَحَبُّ
فِي جَمِيعِ السَّنَةِ كَمَا يُنْقَلُ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَغَيْرِهِ ؛
وَلِأَنَّ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - دُعَاءً يَدْعُو
بِهِ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ وَقِيلَ : بَلْ يَقْنُتُ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ
مِنْ رَمَضَانَ . كَمَا كَانَ أبي بْنُ كَعْبٍ يَفْعَلُ . وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ
أَنَّ قُنُوتَ الْوِتْرِ مِنْ جِنْسِ الدُّعَاءِ السَّائِغِ فِي الصَّلَاةِ مَنْ
شَاءَ فَعَلَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . كَمَا يُخَيَّرُ الرَّجُلُ أَنْ يُوتِرَ
بِثَلَاثِ أَوْ خَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَكَمَا يُخَيَّرُ إذَا أَوْتَرَ بِثَلَاثِ إنْ
شَاءَ فَصَلَ وَإِنْ شَاءَ وَصَلَ . وَكَذَلِكَ يُخَيَّرُ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ
إنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ وَإِذَا صَلَّى بِهِمْ قِيَامَ
رَمَضَانَ فَإِنْ قَنَتَ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ قَنَتَ فِي
النِّصْفِ الْأَخِيرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ بِحَالِ فَقَدْ
أَحْسَنَ . كَمَا أَنَّ نَفْسَ قِيَامِ رَمَضَانَ لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ
عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا
جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ
رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا
زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ
تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ
يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا
بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا
قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ
يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ
لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا كَمَا
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي
رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ
فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ
الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ
قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ
. وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ
وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ
مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ السَّعَةُ فِي نَفْسِ
عَدَدِ الْقِيَامِ فَكَيْفَ الظَّنُّ بِزِيَادَةِ الْقِيَامِ لِأَجْلِ دُعَاءِ
الْقُنُوتِ أَوْ تَرْكِهِ كُلُّ ذَلِكَ سَائِغٌ حَسَنٌ . وَقَدْ يَنْشَطُ
الرَّجُلُ فَيَكُونُ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ تَطْوِيلَ الْعِبَادَةِ وَقَدْ لَا
يَنْشَطُ فَيَكُونُ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ تَخْفِيفَهَا . وَكَانَتْ صَلَاةُ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَدِلَةً . إذَا أَطَالَ
الْقِيَامَ أَطَالَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ وَإِذَا خَفَّفَ الْقِيَامَ خَفَّفَ
الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ هَكَذَا كَانَ يَفْعَلُ فِي الْمَكْتُوبَاتِ وَقِيَامِ
اللَّيْلِ وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .
“Mengenai doa Qunut dalam salat witir, ulama berbeda
pendapat. Pendapat pertama mengatakan hukumnya tidak sunah, karena tidak ada
riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw melakukan Qunut saat salat witir.
Pendapat kedua mengatakan sunah melakukan Qunut dalam salat witir, sebagaimana
yang dikutip dari sahabat Ibnu Mas’ud dan lainnya, juga dikarenakan Rasulullah
Saw telah mengajarkan doa Qunut dalam salat witir kepada Hasan bin Ali,
sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan hadis. Pendapat ketiga
mengatakan (disunahkan) Qunut saat separuh kedua dari bulan Ramadlan,
sebagaimana dikutip dari Ubay bin Ka’b. Esensi permasalahannya, Qunut dalam
salat witir tergolong sebuah doa yang boleh dilakukan dalam salat, siapa yang
berkenan boleh melakukannya, dan yang tidak berkenan boleh meninggalkannya,
sebagaimana seseorang diberi pilihan untuk melakukan salat witir sebanyak 3, 5,
atau 7 rakaat, begitu pula diberi pilihan apakah ia memisah atau menyambung
rakaat akhir dari salat witir dengan salam. Dengan demikian, ketika mereka
melakukan salat malam di bulan Ramadlan kemudian mereka membaca doa Qunut satu
bulan penuh, maka hal itu baik. Jika membaca doa Qunut sejak pertengahan bulan
Ramadlan, maka hal itu juga baik. Begitu pula jika sama sekali tidak membaca
doa Qunut.
Sebab, Rasulullah Saw tidak pernah menjelaskan bilangan
tertentu dalam salat Qiyamu Ramadlan, hanya saja Rasulullah tidak pernah
menambah dari 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau yang lain-, tetapi
Rasulullah melakukannya dengan bilangan rakaat yang lama. Ketika Umar
mengumpulkan umat Islam dengan menunjuk Ubay bin Ka’b sebagai imam mereka, maka
ia melakukannya dengan 20 rakaat yang dilanjutkan dengan salat witir 3 rakaat.
Dan ubay melaksanakannya tidak dengan memanjangkan bacaan salatnya, karena yang
demikian lebih meringankan kepada makmum daripada memanjangkan 1 rakaat.
Diantara segolongan ulama salaf ada yang melakukan Qiyamu Ramadlan
sebanyak 40 rakaat, ditambah salat witir 3 rakaat. Ulama yang lain ada yang
melakukannya sebanyak 36 rakaat, ditambah salat witir 3 rakaat.
Hal yang utama (dalam melakukan salat Qiyamu Ramadlan)
adalah dengan mempertimbangkan para jamaah. Jika mereka sanggup berdiri lama,
maka sebaiknya melakukan Qiyamu Ramadlan 10 rakaat sebagaimana yang
dilakukan oleh Raulullah baik di bulan Ramadlan atau yang lainnya. Jika tidak
mampu melakukannya, maka yang lebih utama adalah 20 rakaat, dan salat inilah
yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam, karena 20 rakaat adalah bilangan yang
tengah-tengah antara 20 dan 40. jika mereka melakukan 40 rakaat atau yang lain,
maka hukumnya boleh dan sama sekali tidak makruh. Hal ini telah dijelaskan oleh
para ulama seperti oleh Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Barangsiapa yang
mengira bahwa salat Qiyamu Ramadlan meliliki bilangan tertentu dari
Rasulullah Saw yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, maka itu adalah
anggapan yang salah. Kalau dalam bilangan rakaatnya saja dapat ditolerir,
maka bagaimana jika menambah bilangan rakaat untuk melakukan doa Qunut atau
meninggalkannya, tentu kesemuanya itu hukumnya boleh dan baik. Terkadang
seseorang memiliki semangat yang kuat, maka sebaiknya ia melakukan ibadah yang
lama. Namun terkadang ia kurang semangatnya, maka yang utama baginya adalah
ibadah yang ringan (tidak panjang). Rasulullah Saw melakukan ibadah salat
secara ideal, yaitu ketika Rasul memanjangkan rakaatnya, maka rukuk dan
sujudnya juga demikian. Dan ketika beliau meringankan rakaatnya, maka rukuk dan
sujudnya juga tidak lama. Dengan cara inilah Rasulullah melakukan ibadah salat
wajib lima waktu, salat malam, salat gerhana, dan sebagainya.”
Membaca
Surat-Surat Pendek Dalam Tarawih
Dalam shalat tarawih ,imam shalat tarawih 20 rakaat umumnya membaca surat
at-Takatsur sampai al-Lahab, dan di rakaat kedua membaca al-Ikhlas ,Syaikh al-Azhar, Sulaiman al-Jamal
(1204 H) berkata: "Mengerjakan Tarawih dengan mengkhatamkan al-Quran
selama 1 bulan lebih utama daripada mengulang-ulang surat al-Ikhlas 3 kali di
setiap rakaat, atau mengulang-ulang surat ar-Rahman, atau mengulang surat
al-Ikhlas setelah surat at-Takatsur sampai al-Lahab, sebagaimana yang biasa
dilakukan kebanyakan imam di Mesir (Hasyiah al-Jamal 4/325)
Hal
ini berdasarkan riwayat dari Anas bahwa ada seorang laki-laki (Kaltsum bin
Hadam) dari Anshor yang menjadi imam di masjid Quba'. Setiap ia membaca surat
selalu didahului dengan membaca Surat al-Ikhlas sampai selesai, baru kemudian
membaca dengan surat lainnya, dan ia lakukan dalam setiap rakaatnya. Para
sahabat yang lain merasa kurang senang dengan hal ini, lalu dihaturkan kepada
Rasulullah Saw. Beliau bertanya: "Apa yang menyebabkan kamu membaca surat
ini terus-menerus di setiap rakaat?". Ia menjawab: "Saya senang
dengan surat al-Ikhlas". Nabi menjawab: "Kesenanganmu pada surat itu
memasukkanmu ke dalam surga" (HR al-Bukhari No 774)
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata: "Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya menentukan
(membaca) sebagian al-Quran berdasarkan kemauannya sendiri dan memperbanyak
membacanya, dan hal ini tidak dianggap sebagai pembiaran terhadap surat yang
lain" (Fathul Bari 3/150)
حاشية الجمل (4/ 325)
وَفِعْلُهَا بِالْقُرْآنِ فِي جَمِيعِ
الشَّهْرِ أَوْلَى وَأَفْضَلُ مِنْ تَكْرِيرِ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا وَمِنْ تَكْرِيرِ سُورَةِ الرَّحْمَنِ أَوْ
هَلْ أَتَى فِي جَمِيعِهَا وَمِنْ تَكْرِيرِ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ بَعْدَ كُلِّ
سُورَةٍ مِنْ التَّكَاثُرِ إلَى الْمَسَدِ كَمَا اعْتَادَهُ غَالِبُ الْأَئِمَّةِ
بِمِصْرَ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ .
صحيح البخارى -
(ج 3 / ص 305)
774 م - وَقَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ
عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - كَانَ رَجُلٌ (كلثوم بن الهدم) مِنَ
الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِى مَسْجِدِ قُبَاءٍ ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ
سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِى الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِپ
( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً
أُخْرَى مَعَهَا ، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ ، فَكَلَّمَهُ
أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ، ثُمَّ لاَ تَرَى
أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى ، فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا
وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى . فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا ،
إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ
تَرَكْتُكُمْ . وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ ، وَكَرِهُوا أَنْ
يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ ، فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم -
أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ « يَا فُلاَنُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ
بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِى كُلِّ
رَكْعَةٍ » . فَقَالَ إِنِّى أُحِبُّهَا . فَقَالَ « حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ
الْجَنَّةَ » . تحفة 457 - 197/1
فتح الباري لابن
حجر - (ج 3 / ص 150)
قَالَ : وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ
تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ
مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا لِغَيْرِهِ ، وَفِيهِ مَا يُشْعِرُ
بِأَنَّ سُورَةَ الْإِخْلَاصِ مَكِّيَّةٌ .
Resume Penulis
Salat Tarawih merupakan salat sunah yang dilaksanakan di
bulan Ramadlan. Salat ini tidak dijelaskan secara kongkrit bilangan rakaat
dalam riwayat-riwayat hadis, kalaupun ada riwayat tersebut masih diperdebatkan
oleh para ulama baik mengenai kesahihan hadisnya maupun arah penggunaan hadisnya
yang tidak mengarah pada dalil Tarawih. Diantara alasan mengapa tidak ada
kejelasan rakaat dikarenakan kekhawatiran Rasulullah Saw. pada persepsi umat
yang menganggap bahwa ibadah malam di bulan Ramadlan adalah wajib, sehingga
mereka tidak mampu melaksanakannya.
Dari sinilah kemudian muncul konsensus ulama, bahwa
penetapan rakaat Tarawih ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dalam hal ini
adalah instruksi Sayidina Umar bin Khattab kepada Ubay bin Ka’b untuk
melaksanakan Tarawih 20 rakaat. Dan sudah pasti apa yang dilakukan oleh
Sayidina Umar ini tidak bertentangan dengan sunah Rasulullah Saw, terlebih lagi
perintah Sayidina Umar ini diikuti oleh para sahabat Rasul yang lain.
Seandainya saja apa yang diperintahkan oleh Sayidina Umar ini ‘keliru’, maka
pasti para sahabat Rasul yang lain akan menentangnya.
Sebagai penutup, kami cantumkan riwayat al-Baihaqi
mengenai komentar Imam Syafii tentang salat Tarawih dalam kitabnya Ma’rifat
al-Sunan wa al-Atsar (IV/205):
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحَبُّ
إِلَيَّ إِذَا كَانُوْا جَمَاعَةً أْنْ يُصَلُّوْا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
وَيُوْتِرُوْنَ بِثَلَاثٍ. قَالَ وَرَأَيْتُ النَّاسَ يَقُوْمُوْنَ
بِالْمَدِيْنَةِ تِسْعًا وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً ، وَأَحَبُّ إِلَيَّ عِشْرُوْنَ
وَكَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَذَلِكَ يَقُوْمُوْنَ
بِمَكَّةَ
‘al-Syafi’i berkata: Saya lebih senang jika mereka
berjamaah untuk salat sebanyak 20 rakaat, dan witir sebanyak 3 rakaat. Saya
menemukan umat Islam di Madinah salat malam di bulan Ramadlan sebanyak 39
rakaat, tetapi saya lebih senang yang 20 rakaat sebagaimana yang diriwayatkan
dari Umar. 20 rakaat juga dilaksanakan oleh umat Islam di Makkah’.
[1][1] Al-Hafidz al-Haitsami, ulama ahli
hadis yang men-takhrij hadis-hadis riwayat al-Thabrani, menyatakan bahwa
Abu Syaibah Ibrahim adalah seorang perawi yang dlaif, al-Haitsami tidak
menilainya sebagai perawi yang sangat dlaif (Majma’ al-Zawaid, III/224).
Penilaian yang sama juga disampaikan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fath
al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, IV/254, Bab Qiyamu Ramadlan.
[2][2] Hadis ini,
sebagaimana dijelaskan oleh sebagian Ulama, tidak tepat jika dijadikan sebagai
dalil salat Tarawih 11 rakaat. Sebab kelanjutan hadis ini berbunyi: Aisyah
berkata: Apakah Engkau tidur terlebih dahulu sebelum melakukan salat Witir?
Rasul Saw. menjawab: Dua mataku memang terpejam, tetapi hatiku tidak pernah
tidur. Aisyah juga menyebutkan bahwa Rasulullah melakukannya masing-masing
dengan 4 rakaat 1 kali salam dengan sangat lama. Perkataan Aisyah yang berbunyi
‘baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’
mempertegas bahwa hadis ini bukan dalil salat Tarawih, karena salat Tarawih
hanya ada di bulan Ramadlan. Bahkan al-Hafidz Ibnu Hajar menjadikan hadis ini
sebagai dalil dari salat Witir dalam kitab Bulugh al-Maram No. Hadis
303. Berikut ini adalah teks hadisnya secara lengkap:
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ
سَأَلَ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِى
رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى
أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا
فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا . فَقُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ « يَا عَائِشَةُ إِنَّ
عَيْنَىَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى »
[3][3] Imam
Nawawi berkata dalam kitab al-Khulashah bahwa riwayat ini sanadnya
adalah sahih (Al-Hafidz al-Zaila’i, Nashb al-Rayah fi Takhriji Ahadits
al-Hidayah, III/228)
[4][4] Kota
Madinah sebagai Dar al-Hijrah dan masyarakatnya adalah saksi dan pelaku
utama dalam menjalankan syariat dari Rasulullah Saw serta tempat menetapnya
para Khalifah. Oleh karenanya, Imam Malik selalu mengedepankan amaliyah
ahli Madinah dalam memutuskan beberapa hukum madzhabnya, sebab amaliyah mereka
dinilai sebagai riwayat mutawatir yang bersifat ‘pasti’, meskipun bertentangan
dengan hadis sahih, sebab hadis sahih sebagiannya bersifat perorangan (Mawahib
al-Jalil, IV/120).
[5][5] Imam al-Nawawi: Hukum salat Tarawih
adalah sunah, berdasarkan ijma’ ulama. Dalam madzhab kami, Tarawih dilaksanakan
sebanyak 20 rakaat, boleh dilakukan sendiri atau berjamaah. Ulama Syafi’iyah
sepakat bahwa salat Tarawih secara berjamaah hukumnya lebih utama… Para ulama
yang mengatakan Tarawih 20 rakaat adalah madzhab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad,
Dawud dan sebagainya. Sementara al-Aswad bin Mazid melakukan Tarawih 40 rakaat
dan witir 7 rakaat. Sedangkan madzhab Maliki sebanyak 36 rakaat dan witir 3
rakaat berdasarkan amaliyah penduduk Madinah (al-Majmu’ IV/32-33).
[6][6] Silahkan baca kembali footnote
no. 2 dari Fatwa al-Suyuthi mengenai penggunaan dalil hadis tersebut.
[7][7] Kesimpulan
dan argumen tersebut sekaligus menjadi sebuah bantahan kepada sebagian pihak
yang menilai bahwa ‘Rakaat Tarawih menurut ulama ahli hadis adalah 8 rakaat,
sedangkan yang 20 rakaat adalah pendapat ulama fikih.’
[8][8] Banyak
dari pengikut Ibnu Taimiyah yang fanatis bersikukuh mengatakan bahwa salat
Tarawih hanya 11 Rakaat dengan salat witirnya. Namun Ibnu Taimiyah tidak
sekolot para pengikutnya, justru ia memiliki pendapat yang moderat dan arif
dalam menjawab perbedaan para ulama mengenai rakaat salat Tarawih.
- Hadis riwayat al-Bukhari (No. 2013) ini,
sebagaimana dijelaskan oleh sebagian Ulama, tidak tepat jika dijadikan sebagai
dalil salat Tarawih 11 rakaat. Sebab kelanjutan hadis ini berbunyi: “Aisyah
berkata: Apakah Engkau tidur terlebih dahulu sebelum melakukan salat Witir?
Rasul Saw. menjawab: Dua mataku memang terpejam, tetapi hatiku tidak pernah
tidur.” Aisyah juga menyebutkan bahwa Rasulullah melakukannya masing-masing
dengan 4 rakaat dan 1 kali salam dengan sangat lama. Perkataan Aisyah yang
berbunyi ‘baik di
bulan Ramadlan atau bulan lainnya’
mempertegas bahwa hadis ini bukan dalil salat Tarawih, karena salat Tarawih
hanya ada di bulan Ramadlan. Bahkan al-Hafidz Ibnu Hajar menjadikan hadis ini
sebagai dalil dari salat Witir dalam kitab Bulugh al-Maram No. Hadis
303.
0 Komentar